Sumber gambar: Species Universe – “Sir Roger Penrose’s Cosmological Concepts”, diakses pada 29 Juli 2025, dari https://speciesuniverse.com/sir-roger-penroses-cosmological-concepts/

Di balik langit yang luas dan bintang-bintang yang berhamburan di jagat raya, manusia terus bertanya: dari mana alam semesta ini berasal? Pertanyaan ini bukan hanya menjadi milik para ilmuwan, tetapi juga menjadi pencarian filosofis dan spiritual sepanjang sejarah. Teori Big Bang dalam sains modern mengemukakan bahwa alam semesta bermula dari satu titik super padat dan panas yang kemudian meledak dan mengembang, membentuk galaksi, bintang, planet, hingga kehidupan. Menariknya, gagasan serupa ternyata telah tersirat dalam Al-Qur’an, kitab suci yang diturunkan lebih dari 1400 tahun yang lalu.

Dalam podcast-nya yang berjudul Terbuktinya Kehebatan Al-Qur’an, Prof. Quraish Shihab menyampaikan bahwa kandungan Al-Qur’an mencakup tiga hal pokok. Pertama, tujuan utama dari kehadiran Al-Qur’an itu sendiri, yakni sebagai petunjuk hidup manusia menuju keselamatan dunia dan akhirat. Kedua, bagaimana Al-Qur’an mencapai tujuannya, salah satunya adalah dengan mengajak manusia untuk berpikir, merenung, dan memperhatikan alam raya di sekitarnya.

Karena itu, mengamati alam semesta tidak hanya menjadi ranah ilmu pengetahuan, tetapi juga bagian dari perenungan iman dalam Islam. Al-Qur’an berkali-kali mengajak manusia untuk memperhatikan langit, bumi, dan seluruh ciptaan sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Seruan ini bukan semata untuk mengagumi keindahan kosmos, tetapi juga sebagai jalan mengenali kebesaran dan kebijaksanaan Sang Pencipta. Dalam konteks ini, ilmu sains dan wahyu Ilahi tidak saling bertentangan, justru saling menguatkan dalam menjelaskan hakikat kehidupan dan asal-usul penciptaan alam raya.

Dalam Surat al-Anbiyā’ ayat 30, Allah SWT berfirman:

أَوَلَمْ يَرَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَٰهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ ٱلْمَآءِ كُلَّ شَىْءٍ حَىٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

Artinya: “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”

Surat al-Anbiyā’ ayat 30 menggambarkan proses penciptaan alam semesta dengan ungkapan yang sangat kuat dan padat makna. Allah SWT menyatakan bahwa langit dan bumi dahulu adalah satu kesatuan yang kemudian dipisahkan. Istilah ratq (menyatu) dan fataq (dipisahkan) menunjukkan adanya perubahan kosmik besar yang dalam konteks kekinian, sering dikaitkan dengan teori Big Bang, sebuah konsep ilmiah modern yang baru ditemukan pada abad ke-20. Namun menariknya, Al-Qur’an telah menyampaikan isyarat tentang hal ini lebih dari 1400 tahun yang lalu.

Sebelum berkembangnya ilmu kosmologi modern, banyak orang percaya bahwa alam semesta bersifat statis, tidak berubah. Baru setelah para ilmuwan menemukan bahwa alam ini justru terus mengembang, barulah muncul kesadaran bahwa alam semesta pasti berasal dari satu titik awal yang sangat padat dan panas. Penemuan ini menjadi fondasi teori Big Bang. Fakta bahwa Al-Qur’an telah lebih dahulu menyebutkan konsep serupa menjadi bukti nyata bahwa kitab suci ini tidak hanya relevan secara spiritual, tetapi juga menyimpan isyarat ilmiah yang luar biasa.

Hal ini menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an sebagai kalāmullah yang tak lekang oleh zaman. Ayat tersebut tidak hanya memberi petunjuk spiritual, tetapi juga memantik nalar ilmiah manusia. Bahkan, sejumlah ilmuwan yang sebelumnya tidak mempercayai keberadaan Tuhan mulai membuka mata, karena tak mungkin sesuatu yang berasal dari ‘ketiadaan’ bisa muncul secara tiba-tiba tanpa ada kekuatan pencipta. Maka, Al-Qur’an tidak hanya membimbing hati, tetapi juga menyinari akal, membuktikan bahwa wahyu dan ilmu dapat berjalan seiring dalam menyingkap keagungan ciptaan Allah.

Menyatunya Nalar dan Iman: Ketika Sains Membaca Tanda-Tanda Wahyu

Kajian terhadap ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak bertentangan dengan sains, bahkan bisa menjadi sumber inspirasi awal. Inilah yang menjadi titik temu menarik antara wahyu dan ilmu pengetahuan. Bukan untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab sains, tetapi sebagai kitab petunjuk yang mengandung isyarat keilmuan, sebagai bentuk kemukjizatan dan keluasan ilmu Allah.

Ilmu pengetahuan memang bersifat tentatif dan terus berkembang, sementara wahyu bersifat tetap. Namun justru karena itulah, ketika keduanya disandingkan dengan cermat dan rendah hati, akan lahir pandangan dunia yang lebih utuh, yang tidak hanya rasional, tetapi juga spiritual.

Peran Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT): Menyatukan Nalar dan Wahyu

Di sinilah menariknya mempelajari Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT). Tidak hanya belajar membaca dan memahami ayat secara tekstual, tapi juga diajak menelusuri kedalaman makna dan relevansinya dengan konteks kekinian. Salah satu mata kuliah menarik dalam prodi ini adalah Al-Qur’an dan Sains, yang membahas bagaimana ayat-ayat Al-Qur’an bersinggungan dengan berbagai cabang ilmu seperti fisika, biologi, geologi, bahkan astronomi.

Melalui pendekatan tematik dan tafsir kontemporer, mahasiswa IAT belajar bahwa Al-Qur’an bukan kitab yang asing terhadap sains, melainkan kitab yang menghidupkan rasa ingin tahu, mengajak berpikir, dan membuka cakrawala intelektual.

Saatnya Membaca Al-Qur’an dengan Kacamata Lebih Luas

Ketika kita membaca ayat-ayat Al-Qur’an, termasuk yang berkaitan dengan alam semesta, kita tidak hanya sedang membaca kitab agama, tetapi juga membaca petunjuk hidup yang sejalan dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman. Apakah Big Bang memang telah disinggung dalam Al-Qur’an? Barangkali iya, barangkali tidak secara eksplisit. Namun yang pasti, Al-Qur’an mengajak kita untuk berpikir, mencari, dan merenungi tanda-tanda kebesaran Allah yang tersebar di langit dan bumi.

Penulis: Nurul Mala Fachry, Mahasiswi IAT IAI Al-Khoziny, Buduran Sidoarjo