
Di tengah derasnya arus informasi dan interaksi digital hari ini, kita menyaksikan bagaimana etika sosial perlahan-lahan tergerus. Tak sulit menemukan ujaran kebencian di media sosial, berita palsu yang viral tanpa verifikasi, perundungan daring, dan komentar saling merendahkan seolah menjadi hal biasa. Ironisnya, semua ini terjadi di tengah masyarakat yang mayoritas mengaku beragama.
Krisis etika sosial bukan sekadar gejala moral, tapi juga cermin dari jauhnya masyarakat dari nilai-nilai adab Islam yang luhur. Padahal, al-Qur’an sebagai petunjuk hidup telah mengatur dengan jelas bagaimana manusia seharusnya bersikap terhadap sesama. Salah satu surah yang secara khusus memuat etika sosial secara komprehensif adalah Surah al-Ḥujurāt.
Al-Ḥujurāt dan Nilai-Nilai Harmoni Sosial
Surah al-Ḥujurāt sering disebut sebagai “Surah Adab” karena memuat prinsip-prinsip luhur dalam menjaga hubungan sosial. Surah ini membimbing kita untuk tidak bersikap sembrono, tidak mudah menuduh, tidak menyebar berita bohong, serta menjaga persatuan dan kesetaraan antarsesama.
Beberapa ayat penting dalam surah ini antara lain: Ayat 6:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Ayat 10:
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Ayat 11-12
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Ayat 13:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Menggali Makna Sosial Melalui Tafsir
Surah al-Ḥujurāt menyajikan nilai-nilai sosial yang sangat kaya dari pentingnya verifikasi informasi, larangan saling merendahkan, hingga perintah menjaga persaudaraan dan toleransi. Namun, memahami kandungan ini secara utuh tidak cukup hanya dengan membaca terjemahannya. Peran tafsir menjadi sangat penting, karena ia membantu membuka dimensi makna yang tersembunyi di balik struktur bahasa, konteks sejarah, serta relasi antar ayat yang saling memperkuat pesan sosial.
Tafsir berfungsi sebagai jembatan antara teks wahyu dan realitas kehidupan. Misalnya, ayat tentang larangan bergunjing (QS al-Ḥujurāt: 12) jika dipahami lewat tafsir, tidak hanya terbatas pada gosip lisan, tetapi juga mencakup praktik perundungan digital, body shaming, hingga doxing yang marak di media sosial saat ini. Tafsir menjelaskan bahwa menggunjing dianalogikan seperti memakan daging saudara sendiri, gambaran yang kuat untuk menunjukkan betapa beratnya dosa ini, dan sangat relevan dengan perilaku sosial masa kini.
Begitu pula dengan ayat tentang larangan merendahkan dan memanggil dengan gelar buruk (QS al-Ḥujurāt: 11), melalui tafsir kita memahami bahwa ayat ini bukan hanya berbicara soal adab lisan, tapi juga struktur sosial, penghinaan berbasis kelas atau suku, bahkan diskriminasi dalam ruang publik. Tafsir membongkar bahwa setiap kata dalam ayat-ayat ini memiliki pesan sosial yang kuat untuk membangun kesetaraan dan saling menghormati.
Tafsir mengajarkan kita bahwa setiap ayat memiliki pesan moral yang dinamis bukan hanya berlaku pada masa Nabi, tetapi juga dapat ditarik dan diterapkan dalam konteks modern. Inilah pentingnya memahami tafsir, karena ia bukan sekadar menjelaskan arti kata, tapi menyulut kesadaran bahwa Al-Qur’an hadir untuk membentuk tatanan masyarakat yang adil, santun, dan saling menguatkan.
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Jalan Ilmiah Memahami Wahyu
Karena itulah, belajar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IAT) menjadi sangat penting di era ini. IAT bukan hanya untuk calon ulama atau akademisi Islam, tapi juga untuk siapa saja yang ingin memahami dan mengamalkan al-Qur’an secara menyeluruh. Dalam disiplin ini, seseorang dibekali dengan ilmu bahasa Arab, asbāb al-nuzūl, ilmu qirā’āt, ilmu balāghah, hingga tafsir klasik dan kontemporer.
Dengan mempelajari IAT, kita tidak hanya hafal ayat, tapi juga tahu bagaimana ayat itu bekerja dalam kehidupan. Kita bisa membaca kondisi sosial hari ini dengan kacamata Qur’ani dan menjadikannya panduan dalam bersikap baik sebagai individu maupun bagian dari masyarakat.
Kembali kepada Adab, Kembali kepada Wahyu
Menjaga etika sosial bukan sekadar soal sopan santun, tapi bagian dari ibadah yang diajarkan al-Qur’an. Dalam kondisi masyarakat yang rawan konflik dan ketegangan, kembali kepada nilai-nilai Qur’ani adalah kebutuhan mendesak.
Surah al-Ḥujurāt mengajarkan bahwa Islam bukan hanya tentang hubungan dengan Allah, tapi juga hubungan dengan manusia. Dan tafsir adalah jembatan untuk memahami itu semua.
Sudah saatnya kita memperdalam ilmu al-Qur’an, tidak hanya sebagai teks yang dibaca, tapi sebagai cahaya yang menerangi peradaban. Mari kembali kepada al-Qur’an, kembali kepada adab.
Penulis: Nurul Mala, Mahasiswi IAT Al Khoziny