Al-Qur’an, sebagai kalam Ilahi, tidak hanya menyampaikan pesan melalui makna tekstual, tetapi juga menyisipkan kedalaman makna melalui susunan kata dan pemilihan diksi yang penuh hikmah. Salah satu contoh keindahan tersebut dapat ditemukan dalam Surah An-Najm, khususnya pada ayat 1 dan 3. Pada dua ayat ini, muncul kata yang sama—hawaa—namun dengan makna yang berbeda. Fenomena ini dalam kajian ilmu tafsir dikenal dengan istilah ‘musytarak lafdzi‘, yaitu satu kata yang digunakan dalam konteks berbeda dan mengandung makna ganda.

Pada Surah An-Najm ayat pertama, Allah SWT. berfirman:وَالنَّجْمِ اِذَا هَوٰىۙ ۝١“Demi bintang ketika terbenam” (QS. An-Najm: 1)Sementara pada ayat ketiga, Allah SWT. menyatakan:وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى ۝٣“Dan dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya” (QS. An-Najm: 3).

Mengapa Allah menggunakan kata yang sama di kedua ayat tersebut namun dengan makna berbeda? Dan apa hubungan maknawi antara keduanya? Pertanyaan ini menjadi dasar dari kajian berikut, yang bertujuan tidak hanya untuk menelaah keindahan bahasa Al-Qur’an, tetapi juga mendorong semangat untuk mempelajari ilmu Al-Qur’an dan tafsir secara mendalam.

Makna dan Fungsi Sumpah dalam Surah An-Najm

Untuk menegaskan kebenaran Al-Qur’an sebagai firman-Nya yang diwahyukan, Allah SWT. mengawali Surah An-Najm dengan sumpah: “Demi bintang ketika terbenam”. Sumpah ini bukanlah ungkapan retoris semata. Syekh Muhammad al-Utsaimin menjelaskan bahwa sumpah Allah SWT dalam Al-Qur’an, secara umum, mengandung dua tujuan utama. Pertama, untuk menunjukkan keagungan objek sumpah (al-Muqsam bihi). Kedua, untuk menguatkan makna pernyataan yang diiringinya (al-Muqsam ‘alaih) sebagai bentuk penguat atas kebenarannya.Manna’ al-Qathtthan, dalam bukunya “Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an” menyebutkan bahwa dalam disiplin ilmu balaghah dan ma’ani, sumpah dalam Al-Qur’an memiliki fungsi yang lebih luas. Di antaranya adalah untuk menjawab tiga kemungkinan posisi lawan bicara: saat lawan bicara tidak memberikan tanggapan atau respon; ketika lawan bicara ragu terhadap pernyataan; dan saat lawan bicara mengingkari atau mendustakan pengucap. Ketiga fungsi ini sangat relevan dalam konteks Surah An-Najm, karena kaum kafir Quraisy pada masa Nabi Muhammad ﷺ banyak menunjukkan sikap ragu, menolak, bahkan mendustakan Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah.

Mengapa Allah Bersumpah dengan Bintang?

Sumpah dengan bintang bukan tanpa makna simbolik. Toto Tasmara, dalam bukunya “Kecerdasan Ruhaniah” menjelaskan bahwa bintang dalam konteks masyarakat Arab saat itu merupakan elemen penting dalam kehidupan sehari-hari. Para pedagang dan pelaut sangat bergantung pada cahaya bintang sebagai penunjuk arah. Tanpa bintang, perjalanan di gurun dan laut menjadi berbahaya. Ketika bintang terbenam atau tidak terlihat, seluruh alam menjadi gelap gulita, dan manusia kehilangan orientasi arah.

Dengan demikian, sumpah Allah menggunakan bintang bukan sekadar menegaskan keindahan kosmik, tetapi juga menggambarkan pentingnya keberadaan bintang sebagai cahaya penuntun. Dalam analogi ini, bintang menjadi simbol dari wahyu atau petunjuk Ilahi. Maka, ketika bintang (wahyu) itu “terbenam”—baik karena ditolak atau tidak diamalkan—maka kegelapan dan kesesatan pun menguasai kehidupan manusia.

Dualitas Makna Hawaa: Terbenam dan Nafsu

Keunikan Surah An-Najm ayat 1 dan 3 adalah hadirnya kata yang sama—hawaa—namun dalam dua konteks makna yang berbeda. Pada ayat 1, hawaa berarti terbenam, sedangkan pada ayat 3, hawaa berarti hawa nafsu. Meskipun secara terjemahan tampak berbeda, namun kedua makna tersebut saling berkaitan dan menyimpan pesan mendalam.

Ustadz Rusydie Anwar dalam bukunya “Quranic Happiness” menyampaikan ilustrasi yang sangat reflektif: “Hawa nafsu bagaikan bintang yang kehilangan cahayanya karena terbenam. Alam semesta, ketika tidak ada lagi cahaya bintang, berada dalam kegelapan. Nakhoda kapal dan musafir yang sedang dalam perjalanan akan kebingungan menentukan arah ketika langit gelap tanpa cahaya bintang. Demikian halnya, orang yang mengikuti hawa nafsu cenderung mengabaikan cahaya kebenaran, mengacuhkan nasihat, dan hidup dalam kegelapan. Mereka mudah tersesat dan binasa karena menuruti hawa nafsunya.”

Kata hawaa dalam kedua ayat itu menggambarkan dua sisi dari satu realitas: saat petunjuk terbenam (baik secara fisik maupun spiritual), maka hawa nafsu berpotensi mengambil alih. Dan jika manusia hidup berdasarkan hawa nafsu, ia tidak lagi dipandu oleh cahaya wahyu—seperti musafir yang kehilangan arah di tengah malam tanpa bintang. Al-Qur’an, dalam konteks ini, adalah cahaya petunjuk yang menerangi kehidupan. Ia adalah bintang yang menyala dalam gelapnya zaman, memberi arah kepada manusia. Namun, cahaya ini bisa terhalang dan redup manakala manusia lebih memilih menuruti hawa nafsunya daripada menerima petunjuk Allah. Sebaliknya, ketika manusia mampu mengendalikan hawa nafsunya, cahaya Al-Qur’an akan kembali bersinar terang dalam kehidupannya. Dengan kata lain, dualitas hawaa dalam Surah An-Najm ini menunjukkan bahwa manusia dihadapkan pada dua pilihan: mengikuti cahaya wahyu atau terbenam dalam gelapnya hawa nafsu.

Urgensi Mempelajari Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Kajian ini bukan semata-mata untuk mengagumi keindahan bahasa Al-Qur’an, tetapi juga sebagai panggilan bagi kita—terutama generasi muda—untuk lebih serius mempelajari Al-Qur’an. Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) adalah pintu masuk menuju pemahaman Al-Qur’an yang lebih dalam, kritis, dan kontekstual. Dengan mempelajari tafsir secara akademik, kita akan memahami makna Al-Qur’an dengan pendekatan yang tepat dan ilmiah, mampu membedakan antara makna literal dan makna kontekstual, mencegah kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang kaya makna. Melalui program studi tersebut, kita tidak hanya mempelajari isi Al-Qur’an, tetapi juga memahami metode penafsiran, sejarah penafsiran, balaghah, serta banyak lainnya. Jika ‘hawaa’ bisa bermakna petunjuk yang terbenam dan hawa nafsu yang membutakan, maka kita memiliki tanggung jawab untuk menjadi penyambung cahaya itu. Mempelajari tafsir bukan hanya demi gelar, tetapi demi menjaga agar cahaya Al-Qur’an terus menyinari dunia yang semakin gelap oleh nafsu dan ego manusia.

Penulis: Fatimatuzzahro Salam, Mahasiswi IAT Al Khoziny